DOK.ISTIMEWA |
Oleh: Gais Ahmad
ROZAQ sedang berlatih
pedang bersama kawan-kawannya. Thoruk yang mengajari mereka. Thoruk adalah
Seorang pemuda gagah perkasa yang pernah mengikuti perang melawan Pasukan Salib
di Arsuf beberapa waktu yang lalu. Untuk itulah ia dipercayai oleh Sultan Al Malik
Al Sholeh sebagai pelatih pedang.
Roqib adalah murid yang
paling merasa kesulitan memainkan pedang karena ia baru saja mengikuti latihan
dan itu pun sering teganggu oleh kegiatan memeras susu unta milik ayahnya di
rumah. Sehingga terkadang hal itu menjadi bahan sindiran kawan-kawannya. Namun
ia tidak mempeduli-kan sindiran-sindiran tersebut karena ia memang merasa
menjadi anak yang paling bodoh.
Pada suatu malam, Roqib
melaksanakan sholat tahajud di mushola rumahnya. Air matanya membasahi pipi. Ia
hanya bisa meminta dan memohon kepada yang maha kuasa atas semua kesedihan yang
sedang ia alami. Hal yang paling membuatnya sedih adalah mengapa harus dirinya
yang paling bodoh memainkan pedang? Sehingga terkadang ia berfikir apa gunanya
ia berlatih pedang selama ini . tapi mungkin berkat ilham dan hidayah dari
Allah, ia bangkit dari sajadahnya kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil
pedang.
Ya, malam itu ia berlatih
di pekarangan belakang rumahnya sendirian. Ia terus berlatih-dan berlatih walau
badannya terasa lemas karena kantuk. Tapi entah mengapa ia merasa kalau dirinya
pada saat itu menjadi keras kepala dan terus mengayunkan pedangnya.
Keesokan harinya, Roqib
seperti biasa mengikuti latihan bersama anak laki-laki seusianya di sebuah
ladang yang luas dan dikelilingi tembok pagar beton. Itu adalah ladang yang
dikhususkan oleh Sultan Al Malik untuk tempat belajar para calon pejuang.
Ketika
di ladang tempat latihan pedang, ada beberapa anak yang sedang mengumpat Roqib.
‘’Eh, kenapa anak bodoh
itu masih saja ke sini?” bisik Zaky.
“Kau jangan bicara
seperti itu! Siapa tahu ia menjadi lebih hebat.” Kilah salah satu teman-nya yang bernama Mida.
“Oya? Mari kita
buktikan.” Dengan langkah angkuh, Zaky menghampiri Roqib yang sedang berlatih
sendirian di pojok ladang dekat sebuah aliran sungai. “ Hei anak bodoh!” sentak
Zaky sambil mendorong Roqib dengan kasar. Tapi Roqib tak membalas.
“Apa maumu, saudaraku?”
Tanya Rozaq dengan suara lemah-lembut.
“Aku ingin mengajakmu adu
pedang!” seru Zaky dengan sombong. Mida kemudian menarik lengan Zaky mencoba
untuk meredam hawa nafsunya. “Sudahlah, Kawan! Bagaimana kalau Thoruk melihat
tingkah lakumu!? Kau pasti dihukum!” gertak Mida.
Namun Zaky tidak
menghiraukan gertakan Mida yang mencoba memperingatkan-nya. Ia menarik Rozaq
dengan paksa untuk bertarung adu pedang. Rozaq pun tak bisa menghindar dan
meredakan amarah buruk Zaky. Terpaksa ia menarik pedang dari sarungnya untuk
meladeni Zaky yang sudah berlagak dengan pedang di hadapannya.
Semua anak-anak yang
sedang berlatih pun bergumul untuk melihat pertarungan antara Rozaq dan Zaky.
“Hahaha… si bodoh itu
pasti habis oleh Zaky Si Jantan(‘si jantan’ adalah julukan untuk Zaky karena
dia adalah termasuk jagoan di perguruan pedang ini).” Ejek salah satu murid
yang menonton. ya, hampir semua murid yang menonton, lebih mensuporteri Zaky
ketimbang Rozaq.
Adu pedang pun di mulai
antara keduanya. Suara denting pedang terdengar begitu menyayat.
Keheran-heranan pun tampak di wajah semua orang yang melihat pertarungan
tersebut ketika melihat gerak-gerik
Rozaq yang tak seperti biasanya. Ia terlihat begitu lincah dan tangguh
menangkis berba-gai serangan pedang yang dihujamkan Zaky.
Akhirnya, Zaky terperangkap
lehernya oleh ujung pedang Rozaq. Pada saat itulah suara sorak-sorai penonton
terdengar ramai dan mengelu-elukan nama Rozaq karena ia telah berhasil
mengalahkan salahsatu murid Thoruk yang hebat itu.
“Hidup Rozaq! Hidup
Rozaq! Hidup Rozaq!” sorak pun terdengar membahana dan menambah kebahagiaan di
hati Rozaq.
Pemuda yang dahulu
disebut bodoh dan tak berguna tersebut, kini ia menjadi jagoan baru.
Keberhasilan Rozaq tersebut telah membawa beberapa perubahan, diantaranya siapa
pun tidak lagi saling berejek-ejekan juga saling melecehkan seperti dulu. Juga
tak ada lagi murid amatir yang diperlakukan seenaknya oleh murid senior seperti
Zaky.
Setelah peristiwa
pertempuaran tersebut usai, Thoruk menghukum Zaky karena telah berbuat sombong
dan aniaya. Zaky sendiri pun mulai sadar atas kesalahannya sehingga ia tak
pernah lagi mau meremehkan orang lain juga berbuat sesukanya pada murid yang
masih amatir sepeti Rozaq.
Mulai
hari kemenangannya itu, Rozaq menjadi punya banyak teman dan dihormati. Akan
tetapi sifatnya tak berubah sedikitpun. Ia tetap baik dan rendah hati. Sehingga
banyak orang yang mengaguminya. Tak hanya itu, Rozaq juga semakin cerdas dan
mahir memainkan pedang. Sehingga dalam setiap pertarungan ia tak terkalahkan.
***
Pada umurnya yang ke-17,
Rozaq dinikahkan dengan anak seorang cendikiawan bernama Rosyidah. Ia adalah
gadis cantik berumur 16 tahun yang solehah. Mereka hidup rukun dan damai dalam
hubungan mereka.
Walaupun menikah muda, Rozaq dan
Rosyidah tidak akan pernah kekurangan biaya sehari-hari karena mereka diberi
sebuah peternakan yang berisikan 50 unta, dan 25 kuda, juga satu ladang kurma
seluas 5 hektar oleh orangtua Rozaq. Rozaq adalah pembisnis yang handal juga
pekerja yang ulet karena dari dulu ia telah diajari oleh orangtuanya untuk
berbisnis, mengelola perusahaan, dan keahlian di berbagai bidang pekerjaan.
Maka dari itulah ia berhasil mengelola peternakanya juga perkebunan kurmanya
yang luas dengan sukses.
Kehidupan bahagia Rozaq dan
Rosyidah tak berlangsun lama karena telah tiba waktunya bagi Rozaq untuk pergi
berperang ke Syiria mempertahankan daerah tersebut dari serangan pasukan Salib
yang melancarkan Perang Salib ke-5.
Rosyidah pun harus rela melepas
kepergian suami yang amat dicintainya itu. Ya, karena Rozaq memang seorang
prajurit yang akan bertarung melawan pasukan salib demi membela agama Allah dan
mempertahankan wilayah Muslim bersama prajurit lainnya.
Sebelum pergi berperang,
prajurit yang akan pergi ke Syiria berpamitan terlebih dahulu dengan keluarga
dan kerabat mereka. Tak terkecuali Rozaq. Begitu hendak berpamitan dengan
istrinya, terjadilah sebuah moment
yang menyedihkan di antara mereka berdua. Rosyidah mencium dan memeluk Rozaq
beberapa kali dengan berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian
suaminya itu.
“Istriku, aku hendak pergi
dijalan Allah dan berjihad. Maka dari itu tolong jangan membuatku urung untuk
pergi ke medan pertempuran…,” pinta Rozaq dengan lembut.
“Aku tidak bermaksud
mengurungkan niatmu yang mulia itu, wahai Suamiku. Aku hanya ingin memelukmu
sebelum kau pergi meninggalkanku beberapa lama. Dan, agar kau takkan pernah
melupakanku biarpun raga ini terpisah begitu jauh.” Kata Rosyidah dengan lirih.
“Sungguh aku takkan melupakan
belahan jiwaku. Engkau adalah tulang sulbiku. Tentu aku akan selalu
merindukanmu di sana,” Rozaq berkata sambil memegang pundak Rosyidah.
Rosyidah menatap mata suaminya
itu dalam-dalam. Kemudian memeluk tubuhnya erat. Roqib pun lebih mempererat
pelukannya. “Aku pasti akan kembali untukmu…,” ucapnya.
Setelah berpelukan, Rosyi-dah
membawakan segala perbekalan yang telah disiapkan untuk Rozaq.
“Di setiap pertemuan pasti akan
ada suatu perpisahan, begitupula sebaliknya. Itu adalah ujian dari Allah untuk
hambanya. Dan aku berjanji dengan tenaga dan darahku,bahwa setelah perpisahan
akan ada pertemuan lagi yang lebih kekal dan abadi. Semoga Allah memberkati
ketulusan dan kesabaranmu, Istriku” ucap Rozaq sembari mengangkat perbekalannya
yang telah dibungkus oleh sebuah kantong ke pundaknya.
“Kau telah berjanji, wahai
Suamiku. Semoga Allah selalu melindungimu”
“Amiin…,” ucap suami-istri itu
bersamaan.
Tak lama kemudian, Rozaq
berpamitan. Rosyidah pun kini terlihat tak bersedih lagi. Ia mencoba untuk
menguatkan hatinya karena suaminya sedang menjalankan tugas di sisi Allah. Ia
mencoba untuk sebisa mungkin memperlihatkan wajah cerianya saat Rozaq menaiki
pelana kudanya.
“Assalamu’alaikum
Warrohmatullah,” ucap Rozaq untuk terakhir kalinya pada Rosyidah yang selama
ini menjadi belahan jiwa yang membahagiakan baginya.
“Wa’alaikumsalam
Warrohmatullahi Wa Barokatuh,” jawab Rosyidah dengan
senyumannya yang indah. Ia berharap di lubuk hatinya yang paling dalam semoga
ini bukan yang ter-akhir kali seumur hidup ia melihat wajah suaminya itu.
***
Kurang lebih 2000
tentara muslimin bergerak dari Mesir menggunakan armada laut ke Syiria.
Perjalanan ke Syiria memerlukan jangka waktu berminggu-minggu. Pasukan Muslim
dari Mesir ini akan membantu pasukan muslim dari Arab,dan daerah-daerahnya
untuk menghancurkan pasukan salib Eropa yang hendak menyerang Damaskus juga
Syiria melaui jalur darat dari Tripoli. Entah jalan pintas rahasia mana yang
mereka lalui untuk memasuki Damaskus dan Syiria tanpa dihadang oleh tentara
Muslim. Pasukan Salib pada saat itu tiga kali lebih banyak daripada Pasukan
Muslimin.
Tibalah waktu Pasukan Muslimin
pada saat berhadapan langsung dengan Pasukan Salib yang begitu banyak di suatu
padang pasir yang amat luas dan rata.
“Siapkan perisai Kalian! Telah
tiba waktu dimana kita harus menyingkirkan keserakahan orang-orang kafir itu ke
tanah kita!” seru Sultan Al Malik Al Sholeh yang memimpin langsung Pasukan
Muslimin.
Pasukan Muslim pun mulai
berkuda-kuda dengan pedang, tombak dan perisainya masing-masing. Teriakan
takbir terdengar bergemuruh dari 4500 tentara Muslimin yang hendak melawan
12000 tentara Kristen.
Rozaq berada pada barisan ketiga
bersama pasukan Muslim dari Mesir lainnya setelah pasukan Kurdi (Arab). Ia juga
tak kalah gagahnya dengan pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kirinya.
“Rozaq! Inilah saatnya, kawan!”
kata Mida di saat gemuruh suara pasukan menyamarkan suaranya di telinga Rozaq.
Mereka telah menjadi sahabat karib setelah dulu Rozaq berhasil mengalahkan
Zaky.
“Iya!
Allahu Akbar!” sahut Rozaq lalu ikut meneriakkan takbir bersama Pasukan
Muslimin.
***
“Serbuuuuu!” teriak masing-masing
pimpinan berisan —salah satunya Thoruk yang memimpin sebagian barisan pasukan
Mesir— dengan suara bagaikan halilintar.
Pasukan Muslimin berhambur
bagaikan kerumunan semut menyerang maju. Begitupula Pasukan Salib. Ribuan
korban berjatuhan, suara ujung pedang dan tombak yang beradu terdengar memecah
langit dan bumi padang pasir yang terhampar luas manuju perbatasan Syiria itu.
Rozaq dan Pasukan Muslimin
lainnya dengan semangat jihad fi sabilillah bergerak
lincah menebaskan pedang pada tubuh tentara salib yang menyerang. Dibanding
tentara Muslim, tentara Salib lebih banyak memunculkan korban.
Dengan Rahmat Allah Tuhan
Semesta Alam, Pasukan Muslim berhasil mengalahkan pasukan Salib yang sebenarnya
patut menang karena mereka sebenarnya memiliki jumlah yang banyak. Tetapi
jikalau Allah menghendaki, apapun pasti terjadi. Sama halnya dengan kemenangan
dari pasukan Muslimin yang tiga kali lebih sedikit dibanding pasukan Salib.
Setelah peperangan usai, pasukan
Muslimin dari Mesir beristirahat beberapa hari di Syiria.
Selama peristirahatan di
Syiria,setelah sholat Isya berjamaah, Rozaq selalu pergi ke suatu bukit atau
puncak gedung rumah untuk memandangi langit. Setiap ada bintang, terlukislah
wajah Rosyidah di dalam pikirannya. Ia benar-benar merindukan istrinya itu. “Sedang
apakah kau di rumah?” Itulah pertanyaan yang selalu muncul
dihatinya,
Sudah hampir 4 bulan Rozaq
berperang untuk pertamakalinya bersama pasukan Muslimin. Ia tak tahu bahwa istrinya kini telah
mengandung anak pertamanya. Tetapi Rozaq mulai memiliki dugaan tersebut. Ia
merencanakan sebuah nama yang akan diberikan pada anaknya nanti. Juga sebuah
kejutan serta bingkisan untuk Rosyidah.
Di rumah, Rosyidah hanya bisa
pasrah pada Yang Maha Kuasa atas nasib suaminya. Setiap malam ia sholat sunnat
dan bertasbih untuk keselamatan Rozaq.
Rozaq
menatap langit ketika hendak pergi dari bukit. Sambil berlalu dalam harap, ia
pun berkata “Tunggulah aku, wahai Cintaku….” (*)
Pengarang, siswa kelas IX SMP Plus Pagelaran Cisalak, Subang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar