Rabu, 08 Februari 2012

Love In The Crusades

DOK.ISTIMEWA
Oleh: Gais Ahmad

ROZAQ sedang berlatih pedang bersama kawan-kawannya. Thoruk yang mengajari mereka. Thoruk adalah Seorang pemuda gagah perkasa yang pernah mengikuti perang melawan Pasukan Salib di Arsuf beberapa waktu yang lalu. Untuk itulah ia dipercayai oleh Sultan Al Malik Al Sholeh sebagai pelatih pedang.
                Roqib adalah murid yang paling merasa kesulitan memainkan pedang karena ia baru saja mengikuti latihan dan itu pun sering teganggu oleh kegiatan memeras susu unta milik ayahnya di rumah. Sehingga terkadang hal itu menjadi bahan sindiran kawan-kawannya. Namun ia tidak mempeduli-kan sindiran-sindiran tersebut karena ia memang merasa menjadi anak yang paling bodoh.
                Pada suatu malam, Roqib melaksanakan sholat tahajud di mushola rumahnya. Air matanya membasahi pipi. Ia hanya bisa meminta dan memohon kepada yang maha kuasa atas semua kesedihan yang sedang ia alami. Hal yang paling membuatnya sedih adalah mengapa harus dirinya yang paling bodoh memainkan pedang? Sehingga terkadang ia berfikir apa gunanya ia berlatih pedang selama ini . tapi mungkin berkat ilham dan hidayah dari Allah, ia bangkit dari sajadahnya kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil pedang.

                Ya, malam itu ia berlatih di pekarangan belakang rumahnya sendirian. Ia terus berlatih-dan berlatih walau badannya terasa lemas karena kantuk. Tapi entah mengapa ia merasa kalau dirinya pada saat itu menjadi keras kepala dan terus mengayunkan pedangnya.
                Keesokan harinya, Roqib seperti biasa mengikuti latihan bersama anak laki-laki seusianya di sebuah ladang yang luas dan dikelilingi tembok pagar beton. Itu adalah ladang yang dikhususkan oleh Sultan Al Malik untuk tempat belajar para calon pejuang. 
Ketika di ladang tempat latihan pedang, ada beberapa anak yang sedang mengumpat Roqib.
                ‘’Eh, kenapa anak bodoh itu masih saja ke sini?” bisik Zaky.
                “Kau jangan bicara seperti itu! Siapa tahu ia menjadi lebih hebat.”  Kilah salah satu teman-nya yang bernama Mida.
                “Oya? Mari kita buktikan.” Dengan langkah angkuh, Zaky menghampiri Roqib yang sedang berlatih sendirian di pojok ladang dekat sebuah aliran sungai. “ Hei anak bodoh!” sentak Zaky sambil mendorong Roqib dengan kasar. Tapi Roqib tak membalas.
                “Apa maumu, saudaraku?” Tanya Rozaq dengan suara lemah-lembut.
                “Aku ingin mengajakmu adu pedang!” seru Zaky dengan sombong. Mida kemudian menarik lengan Zaky mencoba untuk meredam hawa nafsunya. “Sudahlah, Kawan! Bagaimana kalau Thoruk melihat tingkah lakumu!? Kau pasti dihukum!” gertak Mida.
                Namun Zaky tidak menghiraukan gertakan Mida yang mencoba memperingatkan-nya. Ia menarik Rozaq dengan paksa untuk bertarung adu pedang. Rozaq pun tak bisa menghindar dan meredakan amarah buruk Zaky. Terpaksa ia menarik pedang dari sarungnya untuk meladeni Zaky yang sudah berlagak dengan pedang di hadapannya.
                Semua anak-anak yang sedang berlatih pun bergumul untuk melihat pertarungan antara Rozaq dan Zaky.
                “Hahaha… si bodoh itu pasti habis oleh Zaky Si Jantan(‘si jantan’ adalah julukan untuk Zaky karena dia adalah termasuk jagoan di perguruan pedang ini).” Ejek salah satu murid yang menonton. ya, hampir semua murid yang menonton, lebih mensuporteri Zaky ketimbang Rozaq.
                Adu pedang pun di mulai antara keduanya. Suara denting pedang terdengar begitu menyayat. Keheran-heranan pun tampak di wajah semua orang yang melihat pertarungan tersebut ketika melihat  gerak-gerik Rozaq yang tak seperti biasanya. Ia terlihat begitu lincah dan tangguh menangkis berba-gai serangan pedang yang dihujamkan Zaky.
                Akhirnya, Zaky terperangkap lehernya oleh ujung pedang Rozaq. Pada saat itulah suara sorak-sorai penonton terdengar ramai dan mengelu-elukan nama Rozaq karena ia telah berhasil mengalahkan salahsatu murid Thoruk yang hebat itu.
                “Hidup Rozaq! Hidup Rozaq! Hidup Rozaq!” sorak pun terdengar membahana dan menambah kebahagiaan di hati Rozaq.
                Pemuda yang dahulu disebut bodoh dan tak berguna tersebut, kini ia menjadi jagoan baru. Keberhasilan Rozaq tersebut telah membawa beberapa perubahan, diantaranya siapa pun tidak lagi saling berejek-ejekan juga saling melecehkan seperti dulu. Juga tak ada lagi murid amatir yang diperlakukan seenaknya oleh murid senior seperti Zaky.
                Setelah peristiwa pertempuaran tersebut usai, Thoruk menghukum Zaky karena telah berbuat sombong dan aniaya. Zaky sendiri pun mulai sadar atas kesalahannya sehingga ia tak pernah lagi mau meremehkan orang lain juga berbuat sesukanya pada murid yang masih amatir sepeti Rozaq.
                Mulai hari kemenangannya itu, Rozaq menjadi punya banyak teman dan dihormati. Akan tetapi sifatnya tak berubah sedikitpun. Ia tetap baik dan rendah hati. Sehingga banyak orang yang mengaguminya. Tak hanya itu, Rozaq juga semakin cerdas dan mahir memainkan pedang. Sehingga dalam setiap pertarungan ia tak terkalahkan.
***
Pada umurnya yang ke-17, Rozaq dinikahkan dengan anak seorang cendikiawan bernama Rosyidah. Ia adalah gadis cantik berumur 16 tahun yang solehah. Mereka hidup rukun dan damai dalam hubungan mereka.
                Walaupun menikah muda, Rozaq dan Rosyidah tidak akan pernah kekurangan biaya sehari-hari karena mereka diberi sebuah peternakan yang berisikan 50 unta, dan 25 kuda, juga satu ladang kurma seluas 5 hektar oleh orangtua Rozaq. Rozaq adalah pembisnis yang handal juga pekerja yang ulet karena dari dulu ia telah diajari oleh orangtuanya untuk berbisnis, mengelola perusahaan, dan keahlian di berbagai bidang pekerjaan. Maka dari itulah ia berhasil mengelola peternakanya juga perkebunan kurmanya yang luas dengan sukses.
                Kehidupan bahagia Rozaq dan Rosyidah tak berlangsun lama karena telah tiba waktunya bagi Rozaq untuk pergi berperang ke Syiria mempertahankan daerah tersebut dari serangan pasukan Salib yang melancarkan Perang Salib ke-5.
                Rosyidah pun harus rela melepas kepergian suami yang amat dicintainya itu. Ya, karena Rozaq memang seorang prajurit yang akan bertarung melawan pasukan salib demi membela agama Allah dan mempertahankan wilayah Muslim bersama prajurit lainnya.
                Sebelum pergi berperang, prajurit yang akan pergi ke Syiria berpamitan terlebih dahulu dengan keluarga dan kerabat mereka. Tak terkecuali Rozaq. Begitu hendak berpamitan dengan istrinya, terjadilah sebuah moment yang menyedihkan di antara mereka berdua. Rosyidah mencium dan memeluk Rozaq beberapa kali dengan berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian suaminya itu.
                “Istriku, aku hendak pergi dijalan Allah dan berjihad. Maka dari itu tolong jangan membuatku urung untuk pergi ke medan pertempuran…,” pinta Rozaq dengan lembut.
                “Aku tidak bermaksud mengurungkan niatmu yang mulia itu, wahai Suamiku. Aku hanya ingin memelukmu sebelum kau pergi meninggalkanku beberapa lama. Dan, agar kau takkan pernah melupakanku biarpun raga ini terpisah begitu jauh.” Kata Rosyidah dengan lirih.
                “Sungguh aku takkan melupakan belahan jiwaku. Engkau adalah tulang sulbiku. Tentu aku akan selalu merindukanmu di sana,” Rozaq berkata sambil memegang pundak Rosyidah.
                Rosyidah menatap mata suaminya itu dalam-dalam. Kemudian memeluk tubuhnya erat. Roqib pun lebih mempererat pelukannya. “Aku pasti akan kembali untukmu…,” ucapnya.
                Setelah berpelukan, Rosyi-dah membawakan segala perbekalan yang telah disiapkan untuk Rozaq.
                “Di setiap pertemuan pasti akan ada suatu perpisahan, begitupula sebaliknya. Itu adalah ujian dari Allah untuk hambanya. Dan aku berjanji dengan tenaga dan darahku,bahwa setelah perpisahan akan ada pertemuan lagi yang lebih kekal dan abadi. Semoga Allah memberkati ketulusan dan kesabaranmu, Istriku” ucap Rozaq sembari mengangkat perbekalannya yang telah dibungkus oleh sebuah kantong ke pundaknya.
                “Kau telah berjanji, wahai Suamiku. Semoga Allah selalu melindungimu”
                “Amiin…,” ucap suami-istri itu bersamaan.
                Tak lama kemudian, Rozaq berpamitan. Rosyidah pun kini terlihat tak bersedih lagi. Ia mencoba untuk menguatkan hatinya karena suaminya sedang menjalankan tugas di sisi Allah. Ia mencoba untuk sebisa mungkin memperlihatkan wajah cerianya saat Rozaq menaiki pelana kudanya.
                “Assalamu’alaikum Warrohmatullah,” ucap Rozaq untuk  terakhir kalinya pada Rosyidah yang selama ini menjadi belahan jiwa yang membahagiakan baginya.
                “Wa’alaikumsalam Warrohmatullahi Wa Barokatuh,” jawab Rosyidah dengan senyumannya yang indah. Ia berharap di lubuk hatinya yang paling dalam semoga ini bukan yang ter-akhir kali seumur hidup ia melihat wajah suaminya itu.

***
Kurang lebih 2000 tentara muslimin bergerak dari Mesir menggunakan armada laut ke Syiria. Perjalanan ke Syiria memerlukan jangka waktu berminggu-minggu. Pasukan Muslim dari Mesir ini akan membantu pasukan muslim dari Arab,dan daerah-daerahnya untuk menghancurkan pasukan salib Eropa yang hendak menyerang Damaskus juga Syiria melaui jalur darat dari Tripoli. Entah jalan pintas rahasia mana yang mereka lalui untuk memasuki Damaskus dan Syiria tanpa dihadang oleh tentara Muslim. Pasukan Salib pada saat itu tiga kali lebih banyak daripada Pasukan Muslimin.
                Tibalah waktu Pasukan Muslimin pada saat berhadapan langsung dengan Pasukan Salib yang begitu banyak di suatu padang pasir yang amat luas dan rata.
                “Siapkan perisai Kalian! Telah tiba waktu dimana kita harus menyingkirkan keserakahan orang-orang kafir itu ke tanah kita!” seru Sultan Al Malik Al Sholeh yang memimpin langsung Pasukan Muslimin.
                Pasukan Muslim pun mulai berkuda-kuda dengan pedang, tombak dan perisainya masing-masing. Teriakan takbir terdengar bergemuruh dari 4500 tentara Muslimin yang hendak melawan 12000 tentara Kristen.
                Rozaq berada pada barisan ketiga bersama pasukan Muslim dari Mesir lainnya setelah pasukan Kurdi (Arab). Ia juga tak kalah gagahnya dengan pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kirinya.
                “Rozaq! Inilah saatnya, kawan!” kata Mida di saat gemuruh suara pasukan menyamarkan suaranya di telinga Rozaq. Mereka telah menjadi sahabat karib setelah dulu Rozaq berhasil mengalahkan Zaky.
                “Iya! Allahu Akbar!” sahut Rozaq lalu ikut meneriakkan takbir bersama Pasukan Muslimin.
***
“Serbuuuuu!” teriak masing-masing pimpinan berisan —salah satunya Thoruk yang memimpin sebagian barisan pasukan Mesir— dengan suara bagaikan halilintar.
                Pasukan Muslimin berhambur bagaikan kerumunan semut menyerang maju. Begitupula Pasukan Salib. Ribuan korban berjatuhan, suara ujung pedang dan tombak yang beradu terdengar memecah langit dan bumi padang pasir yang terhampar luas manuju perbatasan Syiria itu.
                Rozaq dan Pasukan Muslimin lainnya dengan semangat jihad fi sabilillah bergerak lincah menebaskan pedang pada tubuh tentara salib yang menyerang. Dibanding tentara Muslim, tentara Salib lebih banyak memunculkan korban.
                Dengan Rahmat Allah Tuhan Semesta Alam, Pasukan Muslim berhasil mengalahkan pasukan Salib yang sebenarnya patut menang karena mereka sebenarnya memiliki jumlah yang banyak. Tetapi jikalau Allah menghendaki, apapun pasti terjadi. Sama halnya dengan kemenangan dari pasukan Muslimin yang tiga kali lebih sedikit dibanding pasukan Salib.
                Setelah peperangan usai, pasukan Muslimin dari Mesir beristirahat beberapa hari di Syiria.
                Selama peristirahatan di Syiria,setelah sholat Isya berjamaah, Rozaq selalu pergi ke suatu bukit atau puncak gedung rumah untuk memandangi langit. Setiap ada bintang, terlukislah wajah Rosyidah di dalam pikirannya. Ia benar-benar merindukan istrinya itu. “Sedang apakah kau di rumah?” Itulah pertanyaan yang selalu muncul dihatinya,
                Sudah hampir 4 bulan Rozaq berperang untuk pertamakalinya bersama pasukan Muslimin.  Ia tak tahu bahwa istrinya kini telah mengandung anak pertamanya. Tetapi Rozaq mulai memiliki dugaan tersebut. Ia merencanakan sebuah nama yang akan diberikan pada anaknya nanti. Juga sebuah kejutan serta bingkisan untuk Rosyidah.
                Di rumah, Rosyidah hanya bisa pasrah pada Yang Maha Kuasa atas nasib suaminya. Setiap malam ia sholat sunnat dan bertasbih untuk keselamatan Rozaq.
                Rozaq menatap langit ketika hendak pergi dari bukit. Sambil berlalu dalam harap, ia pun berkata “Tunggulah aku, wahai Cintaku….” (*)

Pengarang, siswa kelas IX SMP Plus Pagelaran Cisalak, Subang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar