Rabu, 08 Februari 2012

Menelusuri Monumen Perjuangan di Ciseupan

Monumen ini merupakan perwujudan sejarah perlawanan tentara nasional pada masa Agresi Belanda ke-2, adapun sejarah cerita perlawanan tersebut yang terjadi di Kampung Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang adalah sebagai berikut :
Saat menguak kembali sejarah dimana pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer untuk yang kedua kalinya, Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta direbut Belanda; Soekarno-Hatta beserta beberapa pimpinan Indonesia lainnya ditawan. Jenderal Soedirman beserta seluruh Angkatan Perang masuk hutan untuk menjalankan perang gerilya melawan Belanda.
Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta segera melakukan longmarch menuju Jawa Barat pada tanggal 20 Desember 1948. Pada umumnya mereka menuju daerah-daerah dimana mereka berjuang sebelum hijrah. Batalyon Engkong Darsono menuju daerah gerilya Jakarta, Bogor, Bekasi, Cianjur; Batalion Lukas menuju gerilya Karawang-Purwakarta; Batalion Suparjo menduduki daerah gerilya Ciasem, dengan kembalinya Divisi Siliwangi ke Jawa Barat maka serangan-serangan kepada kedudukan Belanda semakin meningkat.
Hari Kamis, 4 Pebruari 1949, sebanyak 1500 prajurit RI dari Batalion 3001 Prabu Kian Santang Brigade XIII-Divisi Siliwangi sekembalinya dari Yogyakarta menuju Bandung. Di bawah pimpinan Mayor Engkong Darsono. Pasukan ini singgah di Desa Rancamanggung untuk beristirahat, namun pasukan tidak tertampung semua, maka disebar ke daerah lain termasuk ke kampung Ciseupan Desa Cibuluh, tepatnya di kampung Pasirserah.
Demi kelancaran dan keamanan, Mayor Engkong Darsono selaku pimpinan Batalion mengirim surat kepada Kepala Desa Cibuluh dan surat yang kedua ditujukan kepada pimpinan Markas Besar Belanda yang berada di Cidongkol. Namun dikarenakan jauh, maka surat disampaikan kepada Markas Belanda  terdekat yang ada di kampung Cikaramas dan Gardusayang. Surat tersebut berisi permohonan ijin menginap dan permohonan bantuan keamanan perjalanan menuju kota Bandung, pihak Belanda mengijinkan Tentara RI menginap dengan syarat semua persenjataan harus diikat.
Pada hari jum’at tanggal 5 Pebruari 1949 sekitar pukul 04.00 dini hari, pasukan Belanda dari arah Bolang mendatangi kampung Ciseupan dan dengan paksa tentara Belanda mengumpulkan pemuda dan masyarakat Ciseupan untuk menunjukan keberadaan pasukan Siliwangi. Setibanya di Pasirserah tentara Belanda melakukan penyergapan secara tiba-tiba dan berhasil merampas senjata milik tentara Siliwangi. Karena pasukan tidak seimbang, tentara Siliwangi mundur ke daerah Racamanggung untuk meminta bantuan dari tentara Siliwangi lainnya. Di bawah komando Mayor Engkong Darsono tentara Siliwangi melakukan penyerangan kembali terhadap tentara Belanda yang melakukan penyergapan di daerah Ciseupan sehingga terjadilah pertempuran besar-besaran. Karena kemampuan dan semangat yang gigih akhirnya pasukan Belanda dapat dilumpuhkan.
Dalam pertempuran tersebut tercatat: 1 tentara Belanda berpangkat mayor, 5 orang tentara Belanda berpangkat letnan dan 35 orang prajurit Belanda meninggal; 3 pucuk senjata mesin (Bren Gun) berikut peluru mesinnya, 2 pucuk mortar berikut 16 butir peluru serta 48 senjata LE/Stand Gun dirampas oleh Pasukan Siliwangi.
Dari pihak tentara Siliwangi dan sipil diketahui: 5 prajurit gugur; 3 orang luka berat; 2 orang penduduk sipil meninggal 2 orang penduduk sipil luka tembak. Setelah selesai pertempuran, tentara Siliwangi merasa tidak aman. Maka rute perjalanan pun diubah menjadi ke arah Rancamanggung, Ciburuan Jingkang, Sumedang dan Subang. 
Untuk mengenang peristiwa tersebut. Maka didirikanlah sebuah Tugu Monumen Perjuangan 45 Ciseupan. Di area monument terebut dibuat juga dua buah patung replika Mayor Engkong Darsono dan Mursid, sayangnya dua buah replika patung tersebut hancur dan akhirnya direnovasi dalam bentuk lain yakni patung Mayor Engkong Darsono selaku pimpinan pasukan dan replika patung harimau yang melambangkan Pasukan Batalion 3001 Kian Santang (Siliwangi). (Gais Ahmad/ Ormapran”)

Love In The Crusades

DOK.ISTIMEWA
Oleh: Gais Ahmad

ROZAQ sedang berlatih pedang bersama kawan-kawannya. Thoruk yang mengajari mereka. Thoruk adalah Seorang pemuda gagah perkasa yang pernah mengikuti perang melawan Pasukan Salib di Arsuf beberapa waktu yang lalu. Untuk itulah ia dipercayai oleh Sultan Al Malik Al Sholeh sebagai pelatih pedang.
                Roqib adalah murid yang paling merasa kesulitan memainkan pedang karena ia baru saja mengikuti latihan dan itu pun sering teganggu oleh kegiatan memeras susu unta milik ayahnya di rumah. Sehingga terkadang hal itu menjadi bahan sindiran kawan-kawannya. Namun ia tidak mempeduli-kan sindiran-sindiran tersebut karena ia memang merasa menjadi anak yang paling bodoh.
                Pada suatu malam, Roqib melaksanakan sholat tahajud di mushola rumahnya. Air matanya membasahi pipi. Ia hanya bisa meminta dan memohon kepada yang maha kuasa atas semua kesedihan yang sedang ia alami. Hal yang paling membuatnya sedih adalah mengapa harus dirinya yang paling bodoh memainkan pedang? Sehingga terkadang ia berfikir apa gunanya ia berlatih pedang selama ini . tapi mungkin berkat ilham dan hidayah dari Allah, ia bangkit dari sajadahnya kemudian pergi ke kamarnya untuk mengambil pedang.

Puisi

DOK. ISTIMIEWA
Herlina
Sahabat

Sahabat adalah napasku
Maka aku bisa mati tanpamu
Jika suatu hari kau melihat aku terbalut kain
putih dan tidur dalam tumpukan tanah
Ketahuilah, selama aku masih dianggap sahabat
Aku akan tetap hidup di hatimu
Karena itu mohon jangan lupakan aku
Walau diriku hanya debu di hatimu
Peganglah kayu walaupun rapuh
Ingatlah aku walaupun jauh

Herlina
Pelangi

Setetes air mewakiliku menghapus salahku padamu
                Setitik debu mewakilikiku menutup lukamu
padaku
Kini satu bintang mewakiliku menerangi hatimu
kelabu
                Kini sebuah pelangi mewakiliku memberi
warna hidupmu yang baru


Lain Ladang Lain Belalang

"New Salisan"
Nur, lain lubuk lain ikannya, begitu peribahasa berkata. Walau masih bernama Salisan, buletin ini tentu saja berbeda dengan Salisan yang sudah pernah ada sebelumnya. Seiring waktu yang bergulir, seiring itu pula perubahaan menjadi sebuah keniscayaan, pun begitu dengan Salisan kali ini. Disertai instrumen dan sumber daya manusia yang mendukung, Salisan kembali hadir dengan format dan konsep yang tentunya berbeda. Laiknya motto kami, yaitu “Mengikat Ilmu, Menuai Amal,Salisan tampil sebagai media yang tidak hanya menghadirkan pengetahuan maupun sekadar menyalurkan informasi, akan tetapi juga sebagai sarana mengekspresikan diri ke dalam wujud yang lebih konkret. Dengan kata lain: Beramal.
          Amaliah ini tidak hanya bersifat internal (ke dalam diri) tapi juga eksternal (ke luar diri), mengingat bahwa manusia yang paling baik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana perkataan Rasulullah dalam Hadist Riwayat Thabrani dan Daruquthni. Inilah landasan kami sesungguhnya, dimana tersirat pula di dalamnya semangat untuk menjalani hari-hari dengan baik dan lebih baik lagi. Demikian pula halnya dengan Salisan episode ini. Kami ingin ini menjadi sesuatu yang berarti, bagi kami, Anda dan Salisan sendiri, karena kami tahu bahwa hidup hanya satu kali. Melalui Salisan, kami ingin menciptakan dunia yang lebih baik, walau hanya dengan satu titik (.), seperti yang Abul Aswad ad-Duwali lakukan dengan huruf-huruf Arab, yang meski demikian telah membuat kita bisa membedakan mana huruf ‘nun’ dan mana huruf ‘ba’.(red/”Salisan”)

Terinspirasi oleh pondok pesantren modern seperti Gontor dan Al Basyariah yang mempunyai majalah sebagai sarana informasinya, pada Pebruari 2006 Andri Wibowo, Diki Sandikadam dan Ubaydillah, mendirikan Salisan. Sebagai sebuah media, Salisan memiliki tujuan untuk mengembangkan bakat tulis menulis siswa atau santrinya demi mencetak prestasi.
                Pada hakikatnya, kata Salisan itu sendiri diambil dari kata “Sa-ucap” yang berasal dari bahasa Sunda dimana pada saat itu ketiga pionir media yang kebetulan belum punya nama ini, menyambangi Kiai Oom untuk meminta nama bagi media yang mereka ajukan. Dan, Pak Kiai pun memberi nama “Salisan” dengan alasan selain mudah diucapkan juga mudah untuk diingat. Dengan menggunakan bahasa kirata, kata Salisan itu pun lantas memikili arti yang lain, yakni sebuah kepanjangan yang berarti “Saluran Informasi Singkat Pagelaran.”
                Tak lama setelah itu, pada bulan Maret di tahun yang sama, Salisan edisi pertama pun terbit. Walau hanya dengan instrumen dan sumber daya manusia seadanya, Salisan pada akhirnya bisa sampai ke tangan pembaca baik santri maupun orang tua santri. Dalam pada ini, Salisan tidak hanya menjadi sarana informasi, melainkan juga sebagai media promosi Pondok Pesantren Pagelaran Tiga. Secara teknis, Salisan dibagikan kepada santri pada saat perpulangan yang biasa dilakukan satu bulan sekali.
                Lantas Salisan pun terbit di bulan-bulan selanjutnya. Keadaan ini membuat Andri mengambil keputusan untuk merekrut beberapa orang untuk dijadikan staff yang tugasnya meliput serta mencari berita yang ada di sekitar pondok pesantren. Peliputan sendiri berkisar soal kegiatan yang terjadi di pondok, termasuk salah satunya adalah peringatan hari-hari besar Islam (PHBI).
                Namun, bukannya tanpa hambatan. Setelah beberapa edisi Salisan terbit, salah satu pionir Salisan, yaitu Andri, menuntaskan studinya dari sekolah (SMA Plus) Pagelaran. Hengkangnya Andri membuat Salisan diambil alih oleh Dandy Sehabudin. Selanjutnya nama Dandy Sehabudin dan Kiki Nurafif secara berurutan memimpin media ini. Namun pada saat kepemimpinan Syarif, Salisan mulai “kehilangan taringnya.” Hal ini dikarenakan tidak adanya bimbingan dan pengetahuan ihwal tulis menulis di antara pemegang media ini.
Tepat pada pertengahan 2009, penerbitan Salisan pun tersendat-sendat di tiap-tiap bulannya. Dan secara resmi, pada saat kepemimpinan Sahid, Salisan mulai vakum hingga sekarang, bahkan mungkin bisa dibilang mati suri. (Rika Sa’adah/”Salisan”) 

Biografi Para Nabi

arypriambada.blogspot.com
JUMLAH nabi dan rasul memang bukan hanya 25 orang saja, tapi lebih dari itu. Tepatnya ada 124 ribu orang, sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini:
Dari Abi Zar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya tentang jumlah para nabi, "(Jumlah para nabi itu) adalah seratus dua puluh empat ribu (124.000) nabi." "Lalu berapa jumlah Rasul diantara mereka?" Beliau menjawab, "Tiga ratus dua belas(312)" (HR At-Turmuzy).
Sedangkan yang 25 orang itu hanyalah nama yang mereka disebutkan secara tegas di dalam Al-Quran. Ada sebuah buku yang memuat data sejarah para nabi dan rasul yang disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem. Bahkan ada beberapa peta serta analisa para ahli sejarah tentang perkiraan masa hidup mereka, lokasi dimana mereka tinggal berikut beberapa keterangan lainnya yang digali berdasarkan keterangan baik dari Al-Quran Al-Kariem, As-Sunah An-Nabawiyah ataupun fakta-fakta sejarah.
Judulnya adalah Atlas Tarikh Al-Anbiya' War Rusul disusun oleh Samiy bin Abdullah bin Ahmad Al-Maghluts. Buku ini diberi muqaddimah oleh Syeikh Muhammad bin Nashir Al-'Abudi, Sekretaris Umum Musaid Rabithah Alam Islami, Mekkah Al-Mukarramah.
Sebagai sebuah ijtihad dalam bidang sejarah, barangkali buku ini bisa menjawab pertanyaan Anda. Salah satunya adalah sebuah tabel yang memuat daftar para nabi dan data mereka masing-masing. Berikut adalah cuplikannya:

Selasa, 07 Februari 2012

Semacam Pengantar

PUJI dan syukur kehadirat Illahi Robbi bahwasannya pada kesempatan ini New Salisan –sebut saja Salisan--bisa terbit dalam bentuk blog. Tak lama setelah menerbitkan media berbentuk buletin, tim Salisan pun mencoba memanfaatkan media di dunia maya ini. Selain bermaksud sebagai bentuk dokumentasi, kami pikir bahwa informasi yang kami terbitkan di buletin pun terasa pantas untuk diberitahukan ke khalayak ramai sebagai pengetahuan bersama. Karena sebagaimana halnya moto kami, tak sempurna kiranya jika kita hanya bisa “Mengikat Ilmu” tapi tak “Menuai Amal.”
          Sebagai sebuah pengantar, Salisan sendiri sebenarnya merupakan sebuah media yang diterbitkan di lingkungan Pondok Pesantren Pagelaran 3, bertempat di Jalan Gardusayang Cisalak, Subang, Jawa Barat. Media ini sempat terbit pada tahun 2006 dan sempat mengalami masa hiatus semenjak tahun 2009. (Untuk lebih jelas mengenai sejarah Salisan ini, Anda bisa membacanya di rubrik Fokus di laman blog.
Salisan kembali terbit dengan nama New Salisan berawal dari percakapan antara Afif Nurseha, salah satu pengajar di Kampus Plus Pagelaran dengan Firman Nugraha, yang juga merupakan pengajar baru di kampus tersebut. Kami katakan ‘kampus’ karena Pondok Pesantren berbasis modern ini memiliki sekolah tidak hanya SMP Plus, tapi juga SMA dan SMK-nya. Kata ‘New’ sendiri diberikan oleh salah satu dari tim Salian bernama Rizky Rivani, murid SMP Plus Pagelaran kelas VIII, sehari sebelum Launching Salisan esok malamnya.  
          Percakapan yang berlangsung di tengah bulan Desember itu pun menjadi ide awal untuk membuat Tim Salisan yang terdiri dari siswa-siswa Kampus Pagelaran termasuk dua orang pencetus yang disebutkan tadi. Sungguh bukan perkara yang mudah bagi kami untuk “menghidupkan” kembali Salisan, mengingat tidak adanya dokumentasi Salisan periode lalu yang membuat kedua pencetus harus memutar otak perihal bagaimana memulai semuanya ini dari nol, mulai dari rekruitmen sampai membuat konsep buletin, bahkan ide untuk menggulirkannya lewat blog ini.  
Akan tetapi, dengan ikhtiar dari rekan-rekan sejawat dan tentunya doa, akhirnya kami pun bisa menerbitkan buletin juga blog ini. Kami menyadari bahwa ini bukanlah jalan yang mudah. Tentunya, ada banyak dan banyak lagi hal yang harus dipertimbangkan sekaligus dibenahi. Bukan tak mungkin kekurangan dan kekhilafan pun ada dalam diri kami dan Salisan ini. Oleh karenanya, kritik dan saran sungguh sangat kami harapakan semata-mata untuk membuat blog ini menjadi lebih baik lagi ke depannya.
Dengan mengusung motto “Mengikat Ilmu Menuai Amal”, kami berharap Salisan tidak hanya menjadi media yang mengantarkan setetes demi setetes ilmu pengetahuan dari samudera ilmu yang maha luas ini, akan tetapi juga menjadi media yang mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita kami hanya ingin berusaha menjadi khalifah (tidak harus yang terbaik), sebagaimana Allah Swt menciptakan manusia pada awalnya. Karena dengan pemerian status itu pula, kami merasa bahwa hal ini mesti kami buktikan.
Barangkali, demikian sepatah dua patah kata dari redaksi. Semoga ini menjadi sesuatu yang berarti bagi semua. Selamat membaca!(red