Monumen
ini merupakan perwujudan sejarah perlawanan tentara nasional pada masa Agresi
Belanda ke-2, adapun sejarah cerita perlawanan tersebut yang terjadi di Kampung
Ciseupan Desa Cibuluh Kecamatan Tanjungsiang adalah sebagai berikut :
Saat menguak kembali sejarah dimana pada tanggal 19 Desember 1948
Belanda melancarkan Agresi Militer untuk yang kedua kalinya, Ibu Kota Republik
Indonesia di Yogyakarta direbut Belanda; Soekarno-Hatta beserta beberapa
pimpinan Indonesia lainnya ditawan. Jenderal Soedirman beserta seluruh
Angkatan Perang masuk hutan untuk menjalankan perang gerilya melawan Belanda.
Pasukan Siliwangi yang hijrah ke Yogyakarta segera melakukan longmarch menuju Jawa Barat pada tanggal 20 Desember 1948. Pada umumnya
mereka menuju daerah-daerah dimana mereka berjuang sebelum hijrah. Batalyon
Engkong Darsono menuju daerah gerilya Jakarta, Bogor, Bekasi, Cianjur; Batalion
Lukas menuju gerilya Karawang-Purwakarta; Batalion Suparjo menduduki daerah
gerilya Ciasem, dengan kembalinya Divisi Siliwangi ke Jawa Barat maka
serangan-serangan kepada kedudukan Belanda semakin meningkat.
Hari Kamis, 4 Pebruari 1949, sebanyak 1500 prajurit RI dari Batalion 3001
Prabu Kian Santang Brigade XIII-Divisi Siliwangi sekembalinya dari Yogyakarta
menuju Bandung. Di bawah pimpinan Mayor Engkong Darsono. Pasukan ini singgah di
Desa Rancamanggung untuk beristirahat, namun pasukan tidak tertampung semua,
maka disebar ke daerah lain termasuk ke kampung Ciseupan Desa Cibuluh, tepatnya
di kampung Pasirserah.
Demi kelancaran dan keamanan, Mayor Engkong Darsono selaku pimpinan
Batalion mengirim surat kepada Kepala Desa Cibuluh dan surat yang kedua
ditujukan kepada pimpinan Markas Besar Belanda yang berada di Cidongkol. Namun
dikarenakan jauh, maka surat disampaikan kepada Markas Belanda terdekat
yang ada di kampung Cikaramas dan Gardusayang. Surat tersebut berisi permohonan
ijin menginap dan permohonan bantuan keamanan perjalanan menuju kota Bandung,
pihak Belanda mengijinkan Tentara RI menginap dengan syarat semua persenjataan
harus diikat.
Pada hari jum’at tanggal 5 Pebruari 1949 sekitar pukul 04.00 dini hari,
pasukan Belanda dari arah Bolang mendatangi kampung Ciseupan dan dengan paksa
tentara Belanda mengumpulkan pemuda dan masyarakat Ciseupan untuk menunjukan
keberadaan pasukan Siliwangi. Setibanya di Pasirserah tentara Belanda melakukan
penyergapan secara tiba-tiba dan berhasil merampas senjata milik tentara
Siliwangi. Karena pasukan tidak seimbang, tentara Siliwangi mundur ke daerah
Racamanggung untuk meminta bantuan dari tentara Siliwangi lainnya. Di bawah
komando Mayor Engkong Darsono tentara Siliwangi melakukan penyerangan kembali
terhadap tentara Belanda yang melakukan penyergapan di daerah Ciseupan sehingga
terjadilah pertempuran besar-besaran. Karena kemampuan dan semangat yang gigih
akhirnya pasukan Belanda dapat dilumpuhkan.
Dalam pertempuran tersebut tercatat: 1 tentara Belanda berpangkat mayor,
5 orang tentara Belanda berpangkat letnan dan 35 orang prajurit Belanda
meninggal; 3 pucuk senjata mesin (Bren Gun) berikut peluru mesinnya, 2
pucuk mortar berikut 16 butir peluru serta 48 senjata LE/Stand Gun dirampas
oleh Pasukan Siliwangi.
Dari pihak tentara Siliwangi dan sipil diketahui: 5 prajurit gugur; 3
orang luka berat; 2 orang penduduk sipil meninggal 2 orang penduduk sipil luka
tembak. Setelah selesai pertempuran, tentara Siliwangi merasa tidak aman. Maka
rute perjalanan pun diubah menjadi ke arah Rancamanggung, Ciburuan Jingkang,
Sumedang dan Subang.
Untuk mengenang peristiwa tersebut. Maka didirikanlah sebuah Tugu Monumen
Perjuangan 45 Ciseupan. Di area monument terebut dibuat juga dua buah patung
replika Mayor Engkong Darsono dan Mursid, sayangnya dua buah replika patung
tersebut hancur dan akhirnya direnovasi dalam bentuk lain yakni patung Mayor
Engkong Darsono selaku pimpinan pasukan dan replika patung harimau yang
melambangkan Pasukan Batalion 3001 Kian Santang (Siliwangi). (Gais Ahmad/ ”Ormapran”)